Hukum Adat
di Indonesia
Hukum adalah seperangkat norma dan
aturan adat atau kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah. Istilah “kebiasaan”
adalah terjemahan dari bahasa Belanda “gewoonte”, sedangkan istilah “adat”
berasal dari istilah Arab yaitu ”adah” yang berarti juga kebiasaan. Jadi
istilah kebiasaan dan istilah adat mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan.
Menurut ilmu hukum, kebiasaan dan
adat itu dapat dibedakan pengertiannya. Perbedaan itu dapat dilihat dari segi
pemakaiannya sebagai perilaku atau tingkah laku manusia atau dilihat dari segi
sejarah pemakaian istilahnya dalam hukum di Indonesia.
Sebagai perilaku manusia istilah
biasa berarti apa yang selalu terjadi atau apa yang lazim terjadi, sehingga
kebiasaan berarti kelaziman. Adat juga bisa diartikan sebagai kebiasaan pribadi
yang diterima dan dilakukan oleh masyarakat.
Sejarah perundang-undangan di
Indonesia membedakan pemakaian istilah kebiasaan dan adat, yaitu adat kebiasaan
di luar perundangan dan adat kebiasaan yang diakui oleh perundangan. Sehingga
menyebabkan munculnya istilah hukum kebiasaan / adat yang merupakan hukum tidak
tertulis dan hukum yang tertulis. Di Negara Belanda tidak membedakan istilah
kebiasaan dan adat. Jika kedua-duanya bersifat hukum, maka disebut hukum kebiasaan
(gewoonterecht) yang berhadapan dengan hukum perundangan (wettenrecht).
Istilah hukum adat sendiri berasal
dari istilah Arab “Huk’m” dan “Adah”. Kata huk’m (jama’: ahakam) mengandung
arti perintah atau suruhan, sedangkan kata adah berarti kebiasaan. Jadi hukum
adat adalah aturan kebiasaan.
Di Indonesia hukum adat diartikan
sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama.
Terminologi “Adat” dan “Hukum Adat”
seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya keduanya adalah dua lembaga yang berlainan.
Adat sering dipandang sebagai
sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai
dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat”
adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali
menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk
dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya,
adat istiadat, dll.
Hukum Adat adalah wujud gagasan
kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan
aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan
memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Contohnya sejak jaman dulu, Suku Sasak
di Pulau Lombok dikenal dengan konsep Gumi Paer atau Paer. Paer adalah satu
kesatuan sistem teritorial hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, kemanan dan
kepemilikan yang melekat kuat dalam masyarakat .
Istilah-istilah dalam pemahaman adat didasarkan atas
level-level antara lain :
·
Adat
adalah hukum dan aturan yang berlaku di masyarakat dibuat atas dasar
kesepakatan.
·
Adat yang
diadatkan yaitu komunitas yang mempunyai ketentuan-ketentuan hukum telah
ditetapkan.
·
Adat yang
teradat yaitu jika produk hukum itu sudah menjadi adat kebiasaan masih tetap
diberlakukan di tengah masyarakatnya.
·
Adat Istiadat yaitu kebiasaan-kebiasaan secara
turun temurun yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan leluhur (lebih pada
ketentuan-ketentuan tata cara ritual) yang kini perlu mengalami perubahan untuk
disesuaikan (transformasi) pada era masa kini.
Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu
:
Hukum kebiasaan yang bersifat
tradisional disebut juga hukum adat. Yaitu hukum yang dipertahankan dan berlaku
di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu. Contoh : hukum adat Batak, hukum
adat Jawa, dll.
Hukum kebiasaan. Yaitu hukum yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu
dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga-lembaga kenegaraan,
kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan.
Ciri-ciri hukum adat adalah :
1.
Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan
tidak dikodifikasi.
2.
Tidak tersusun secara sistematis.
3.
Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan.
4.
Tidak tertatur.
5.
Keputusannya tidak memakai konsideran
(pertimbangan).
6.
Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak
mempunyai penjelasan.
Tiga dimensi hukum adat yang mengatur gerak hidup manusia
dimuka bumi ini yaitu :
1. Dimensi Adat Tapsila (Akhlakul Qarimah)
Yaitu dimensi yang mengatur norma-norma dan etika
hubungannya dengan lingkungan sosial
budaya, pergaulan alam dan keamanan lahir batin.
2. Dimensi Adat Krama
Yaitu dimensi yang mengatur hukum dalam hubungan perluasan
keluarga (perkawinan) yang sarat dengan aturan-aturan hukum adat yang berlaku
di masyarakat.
3. Dimensi Adat Pati / Gama
Yaitu dimensi yang mengatur tata cara dan pelaksanaan
upacara ritual kematian dan keagamaan sehingga dimensi adat Pati kerap disebut
sebagai dimensi adat Gama (disesuaikan dengan ajaran agama masing-masing).
Semua suku bangsa dan etnis di
Indonesia memiliki dan terikat secara kultural maupun sosial ekonomi atas
aturan dan tatanan nilai tradisional yang mengacu kepada adat dan hukum adat
dengan penselarasan hukum-hukum agama atau kepercayaan.
Melihat dalam perspektif keberadaan
kelembagaan adat dan hukum adat dalam kesehariannya merupakan bentuk keaslian
dari masyarakat setempat yang memiliki asas gotong royong (partisipasi) karena
didasarkan atas kebutuhan bersama. Nilai-nilai gotong royong dan semangat
kebersamaan ini sesungguhnya merupakan padanan dari cita-cita masyarakat desa
yaitu demokrasi, partisipasi, transparansi, beradat dan saling menghormati
perbedaan (keberagaman).
Tanpa disadari bahwa nilai luhur
dari semua aspek kehidupan telah diatur dengan norma-norma hukum adat yang
teradat. Masyarakat adat memiliki tatanan dan lembaga adat dengan berbagai
perangkat hukum yang dimiliki dan memiliki eksistensi yang kuat hingga saat
ini. Lembaga adat terbukti sebagai lembaga yang menyelesaikan konflik-konflik
yang tidak mampu ditangani oleh struktur lembaga formal.
Masyarakat Adat didefinisikan
sebagai : Kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara
turun-temurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Artinya suatu
kelompok termasuk dalam masyarakat adat jika dia mempunyai sistem tersendiri
dalam menjalankan penghidupan (liveli-hood) mereka, yang terbentuk karena
interaksi yang terus menerus di dalam kelompok tersebut dan mempunyai wilayah
teritori sendiri, dimana sistem-sistem nilai yang mereka yakini masih
diterapkan dan berlaku bagi kelompok tersebut.
Dengan adanya UU No. 5 Thn. 1970
tentang Pemerintahan di Desa membuat sistem pemerintahan adat tergusur dan
kehilangan fungsinya. Karena UU tersebut menseragamkan struktur kepemimpinan di
desa dengan menempatkan Kepala Desa sebagai pemimpin tertinggi. Padahal Kepala
Desa diangkat oleh pemerintah, ketimbang Kepala Adat yang dipilih oleh
rakyatnya. Sejak itu lambat laun sistem pemerintahan masyarakat adat kehilangan
fungsinya, dimana sekarang sekedar menjadi simbol tanpa kekuasaan yang berarti.
Dewasa ini, adat hanya terbatas kepada ritual budaya yang dipertahankan untuk
nilai komersil, utamanya untuk mendongkrak sektor pariwisata.
Jauh sebelum Negara Kesatuan
Republik Indonesia ini berdiri, harus diakui telah hidup masyarakat dengan
wujud kesatuan sosial dengan cirinya masing-masing yang terus-menerus melembaga,
sehingga menjadi suatu kebudayaan lengkap dengan tatanan aturan tingkah
lakunya. Interaksi yang terus menerus di antara mereka membuat mereka mempunyai
sistem politik, sistem ekonomi dan sistem pemerintahan sendiri.
Sistem Kebudayaan yang beraneka
itu, ternyata belumlah tuntas dibahas dan dipahami. Sedang pada tatanan lain,
adanya kemajemukan sistem budaya di Indonesia ini telah diakui dari semboyan
Negara yaitu "BHINNEKA TUNGGAL IKA" yang artinya walaupun beraneka
ragam budayanya, tetapi kita adalah satu kesatuan dalam Negara Republik
Indonesia.
Namun pada kenyataannya yang
terjadi di lapangan berkata lain. Banyak cerita pedih seputar keberadaan
masyarakat adat terutama jika berbicara hak dan akses mereka terhadap sumber
daya alam. Cerita penggusuran rakyat pribumi dari sumber-sumber kehidupannya menghiasi
sejarah pembangunan di negeri ini. Contohnya saja Suku Amungme dan Komoro di
Irian akibat eksploitasi pertambangan di tanah mereka, Suku Sakai di Riau
karena adanya eksploitasi perminyakan, dan orang-orang Dayak di Kalimantan
akibat eksploitasi di sektor kehutanan dan pertambangan.
Sebaiknya sebelum semua menjadi
terlambat, perhatian khusus dan penghargaan yang layak bagi masyarakat adat
harus segera dimulai, untuk menghindari kisah sedih bangsa Indian di Amerika
Utara dan suku Aborigin di Australia tidak terjadi di negeri yang menjunjung
tinggi falsafah Pancasila ini.
Adat merupakan pencerminan daripada
kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa
bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.
Oleh karena itu, maka tidap bangsa
didunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang
lainnya tidak sama. Justru oleh karena ketidak samaan itu kita dapat mengatakan
bagwa adat itu merupakan unsur yang
terpenting yang memberikan identitas kedpa bangsa yang bersangkutan. Tingkatan
peradaban, maupun cara penghidupan yang modern, ternyata tidak mampu
menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat; paling-paling yang
terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adalah, bahwa adat tersebut
menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga adat itu menjadi
kekal serta tetap segar.
Ditegaskan bahwa Adat merupakan
endapan kesusilaan dalam masyarakatm yaitu bahwa : kaidah-kaidah adat itu
berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum
dalam masyarakat itu. Meskipunm ada perbedaan sifat atau perbedaan corak antara
kaidah-kaidah kesusilaan dan kaidah –kaidah hukum, namun bentuk-bentuk
perbuatan yang menurut hukum di larang atau disuruh itu adalah menurut
kesusilaan bentuk-bentuk yang dibela atau dianjurkan juga, sehingga pada
hakikinya dalam patokan lapangan itu juga hukum itu berurat pada kesusilaan.
Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh kaidah kesusilaan,
diihtiyarkan pemeliharaannya dengan kaidah hukum.
Melacak asal muasal hukum adat
adalah dengan cara memahami akar dimana kaidah-kaidah kesusilaan itu diakui dan
diyakini mempunyai daya mengikat dan memaksa bagi masyarakat adat. Dengan
demikian kaidah-kaidah kesusilaan atau norma yang mereka yakini tersebut
menjadi baku dan kokoh sehingga menjadi hukum adat. Norma dan hukum mempunyai
hubungan dengan kesusilaan, langsung atau tidak langsung. Dengan demikian maka
dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat bagi sesuatu yang tidak
selaras atau yang bertentangan dengan kesusilaan. Demikian juga dengan hukum
Adat; teristimewa disini dijumpai perhubungan dan persesuaian yang langsung
antara hukum dan kesusilaan; pada akhirnya hubunghan antra Hukum dan Adat yaitu
sedemikian langsungnya sehingga istilah buat yang di sebut “Hukum Adat” itu
tidak dibutuhkan oleh rakyat biasa yang
memahamkan menurut halnya sebutan “Adat” itu, atau dalam artinya sebagai
(Adat) sopan-santun atau dalam artinya sebagai hukum.
Hukum adat pada umumnya belum/tidak
tertulis dalam lembaran-lembaran hukum. Oleh karena itu para ahli hukum
mengatakan “memang hukum keseluruhannya di Indonesia ini tidak teratur, tidak
semurna, tidak tegas. Oleh orang asing
hukum adat dianggap sebagai peraturan-peraturan “ajaib” yang sebagian simpang
siur. Karena sulit dimengerti. Dan oleh
karena ketidak tahuan itu mereka menyebutnya demikian.
Apabila mau mencermati urat akar
hukum adat secara sungguh-sungguh dengan penuh perasaan maka sebenarnya banyak
hal yang mengagumkan, yaitu adat-istiadat dahulu dan sekarang, adat-istiadat
yang hidup, yang berkembang serta yang berirama.
Memang tidak semua
kebiasaan-kebiasaan, tradisi, atau adat itu merupakan hukum. Ada perbedaan
antara adat-istiadat/tradisi dengan hukum adat.
Menurut Van Vollen Hoven ahli hukum adat Barat mengatakan hanya adat
yang bersaksi memupunyai sifat hukum serta merupakan hukum adat. Sanksinya
adalah berupa reaksi dari masyarakt hukum yang bersangkutan. Reaksi adat
masyarakat hukum yang bersangkutan ini dalam pelaksanaannya sudah barang tentu dilakukan
oelh penguasa masyarakat hukum dimaksud. Penguasa masyarakat hukum yang
bersangkutan menjatuhkan sanksinya terhadap si pelanggar peraturan adat,
menjatuhkan keputusan hukum. Hukum adat disebut hukum jika ada dua unsur
didalamnya.pertama, Unsur kenyataan, bahwa adat itu dalam keadaan yang sama
selalu diindahkan oleh rakya. Kedua, Unsur psikologis bahwa terdapat adanya
keyakinan pada rakyat, bahwa adat dimasud mempunyai kekuatan hukum dan punya
sanksi yang mengikat. Dengan dua unsur diatas ini lah yang menimbulkan
kewajiban hukum (opinio yuris neccessitatis)
1. Corak-Corak
Hukum Adat Indonesia
Hukum adat kita mempunyai corak-corak tertentu adapun corak-corak
yang terpenting adalah :
1.
Bercorak Relegiues- Magis :
Menurut kepercayaan tradisionil Indonesia, tiap-tiap
masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat
itu tetap aman tentram bahagia dan lain-lain. Tidak ada pembatasan antara dunia
lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan
kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupan
makluk-makluk lainnya.
Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah darp
pada nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi
kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama
seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-pristiwa penting
lainnya selalu diadakan upacara-upacara relegieus yang bertujuan agar maksud
dan tujuan mendapat berkah serta tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan
baik.
Arti Relegieus Magis
adalah :
·
Bersifat kesatuan batin
·
Ada kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
·
Ada hubungan dengan arwah-arwah nenek moyang dan
makluk-makluk halus lainnya.
·
Percaya adanya kekuatan gaib
·
Pemujaan terhadap arwah-arwah nenek moyang
·
Setiap kegiatan selalu diadakan upacara-upacara
relegieus
·
Percaya adanya roh-roh halus, hatu-hantu yang
menempati alam semesta seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan,
binatang, batu dan lain sebagainya.
·
Percaya adanya kekuatan sakti
·
Adanya beberapa pantangan-pantangan.
2.
Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud
kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya
tidak dapat hidup sendiri, manusia adalah makluk sosial, manusia selalu hidup
bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan
perseorangan..
·
Secara singkat arti dari Komunal adalah :
·
Manusia terikat pada kemasyarakatan tidak bebas
dari segala perbuatannya.
·
Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai
dengan kedudukannya.
·
Hak subyektif berfungsi sosial
·
Kepentingan bersama lebih diutamakan
·
Bersifat gotong royong
·
Sopan santun dan sabar
·
Sangka baik
·
Saling hormat menghormati
3.
Bercorak Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa
kebersamaan, kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada
kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan
sebagai system pemerintahan.
Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa
berdasarkan hasil musyawarah dan lain sebagainya.
4.
Bercorak Kontan :
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan
pada saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus
dilakukan secara serentak, ini dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam
pergaulan bermasyarakat.
5.
Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap
perbuatan atau keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus
dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar
dengan janji, semuanya harus disertai tindakan nyata, tidak ada saling
mencurigai satu dengan yang lainnya.
2. Dasar Hukum
Sah Berlakunya Hukum Adat
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak
satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk
berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang
berbunyi :
“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung
berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Aturan Peralihan Pasal II ini
menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104
disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan
dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang-Undang dan aturan adat yang
dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada,
maka kembali ke Aturan Peralihan UUd 1945.
Dalam Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S.
menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur asing berlaku
hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka
pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka :
1.
Hukum Eropa
2.
Hukum Eropa yang telah diubah
3.
Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
4.
Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese
antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.
Pasal 131 ini ditujukan pada
Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi
Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum
terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat
bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam UU
No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan
selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu jug aharus memuat
pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum
tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini
direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang
terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14
tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu
adalah hukum adat.
Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal
27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup di masyarakat.
Dari uraian di atas dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum adat di Indonesia
adalah :
1.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar
berlakunya kembali UUD 1945.
2.
Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
3.
Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
4.
Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
3.
Sumber-Sumber Hukum Adat
Sumber-sumber hukum adat adalah :
1.
Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan
tradisi rakyat
2.
Kebudayaan tradisionil rakyat
3.
Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
4.
Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat
5.
Pepatah adat
6.
Yurisprudensi adat
7.
Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang
memuat ketentuan - ketentuan hukum yang hidup.
8.
Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oelh
Raja-Raja.
9.
Doktrin tentang hukum adat
10.
Hasil-hasil penelitian tentang hukum
adatNilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.
4.
Pembidangan Hukum Adat
Mengenai pembidangan hukum adat
tersebut, terdapat pelbagai variasi, yang berusaha untuk mengidentifikasikan
kekhususan hukum adat, apabiladibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan
tersebut biasanya dapat diketemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika
buku-buku tersebut merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana
yang dianut oleh penulisnya. Van Vollen Hoven berpendapat, bahwa pembidangan
hukum adat, adalah sebagai berikut :
1.
Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2.
Tentang Pribadi
3.
Pemerintahan dan peradilan
4.
Hukum Keluarga
5.
Hukum Perkawinan
6.
Hukum Waris
7.
Hukum Tanah
8.
Hukum Hutang piutang
9.
Hukum delik
10.
Sistem sanksi.
Soepomo Menyajikan pembidangnya sebagai berikut :
1.
Hukum keluarga
2.
Hukum perkawinan
3.
Hukum waris
4.
Hukum tanah
5.
Hukum hutang piutang
6.
Hukum pelanggaran
Ter Harr didalam bukunya “ Beginselen en stelsel van het
Adat-recht”, mengemukakan pembidangnya sebagai berikut .
1.
Tata Masyarakat
2.
Hak-hak atas tanah
3.
Transaksi-transaksi tanah
4.
Transaksi-transaksi dimana tanah tersangkut
5.
Hukum Hutang piutang
6.
Lembaga/ Yayasan
7.
Hukum pribadi
8.
Hukum Keluarga
9.
Hukum perkawinan.
10.
Hukum Delik
11.
Pengaruh lampau waktu
Pembidangan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para
sarjana tersebut di atas, cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat
pada dewasa ini. Surojo Wignjodipuro, misalnya, menyajikan pembidangan, sebagai
berikut :
1.
Tata susunan rakyat Indonesia
2.
Hukum perseorangan
3.
Hukum kekeluargaan
4.
Hukum perkawinan
5.
Hukum harta perkawinan
6.
Hukum (adat) waris
7.
Hukum tanah
8.
Hukum hutang piutang
9.
Hukum (adat) delik
Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas,
adalah dari Iman Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa”
(1978), yang mengajukan pembidangan, sebagai berikut :
1.
Hukum Tanah
2.
Transaksi tanah
3.
Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4.
Hukum perutangan
5.
Status badan pribadi
6.
Hukum kekerabatan
7.
Hukum perkawinan
8.
Hukum waris
9.
Hukum delik adat.
Contoh Adat
Istiadat di Indonesia
Adat
istiadat Jawa Tengah
Ada beberapa adat istiadat yang
biasa dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah.
Mupu adalah salah satu di antaranya. Mupu berarti memungut anak.
Tujuannya agar kelak juga dapat menyebabkan hamilnya ibu yang memungut anak.
Pada saat si ibu hamil, jika mukanya tidak kelihatan bersih dan secantik
biasanya, disimpulkan bahwa anaknya adalah laki-laki. Jika sebaliknya, maka
anaknya perempuan.
Pada saat usia kehamilan 7 bulan,
diadakan acara nujuh bulanan atau mitoni. Pada acara ini disiapkan sebuah
kelapa gading dengan gambar wayang Dewa Kamajaya (jika laki-laki akan tampan
seperti Dewa Kamajaya) dan Dewi Kamaratih (jika perempuan akan cantik seperti
Dewi Kamaratih), gudangan (sayuran) yang dibumbui, lauk lainnya, serta rujak
buah.
Ketika bayinya lahir, diadakan slametan,
yang dinamakan brokohan. Pada brokohan ini biasanya disediakan nasi tumpeng
lengkap dengan sayur dan lauknya. Ketika bayi berusia 35 hari, diadakan acara
slametan selapanan. Pada acara ini rambut sang bayi dipotong habis. Tujuannya
agar rambut sang bayi tumbuh lebat.
Adat selanjutnya adalah
tedak-siten. Adat ini dilakukan pada saat sang bayi berusia 245 hari. Ini
adalah adat di mana sang bayi untuk pertama kalinya menginjakkan kaki ke atas
tanah.
Setelah si anak berusia menjelang 8
tahun, namun masih belum mempunyai adik, maka dilakukan acara ruwatan. Ini
dilakukan untuk menghindarkan bahaya. Ketika menjelang remaja, tiba waktunya
sang anak ditetaki atau dikhitan.
Orang Jawa kuno sejak dulu terbiasa
menghitung dan memperingati usianya dalam satuan windu atau setiap 8 tahun. Peristiwa
ini dinamakan windon.
Adat istiadat
adalah sebuah kebudayaan yang sudah menjadi tradisi pada setiap masyarakat yang
sudah menjadi ketentuan daerah tersebut. Salah satu contoh sebuah adat istiadat
yang masih dilakukan pada sebuah daerah, yaitu adat istiadat yang terjadi pada
masyarakat suku jawa tengah.
Ada beberapa adat istiadat yang
biasa dilakukan oleh masyarakat jawa tengah terutama yang terdapat pada
seseorang yang sudah berumah tangga. Seorang ibu yang menginginkan seorang
anak, akan tetapi belum juga dikasih maka seorang ibu tersebut mengadakan yang
dinamakan mupu, mupu yaitu memungut anak. Tujuannya agar menyebabkan hamilnya
seorang ibu yang memungut anak. Pada saat ibu hamil, jika wajahnya terlihat
tidak bersih dan tidak tampak cantik seperti biasanya, maka dapat disimpulkan
bahwa anaknya adalah laki-laki, akan tetapi, jika ibu wajahnya tampak bersih
dan tampak cantik maka dapat disimpulkan bahwa anaknya perempuan.
Ketika seorang ibu hamil memasuki
kehamilannya yang 7 bulan, maka akan diadakan acara tujug bulanan atau mitoni.
Tujuannya yaitu agar seorang calon bayi dan calon ibu sehat dan lancar dalam
persalinan nanti. Pada tujuh bulanan ada beberapa ritual yang dilakukan, salah
satunya yaitu calon ibu di mandikan dengan air yang diambil dari tujuh sumber
yang berbeda dan juga ditambahkan bunga tujuh macam agar wangi. Ada juga
masyarakat yang hanya merayakan tujuh bulanan ini dengan acara selamatan
khataman quran. Karena simpel tidak terlalu ribet. Pada tujuh bulanan ini pasa
masa sekarang tidak hanya dilakukan pasa suku jawa, akan tetapi ada suku lain
juga yang mengikuti adat suku jawa ini.
Pada saat seorang bayi itu lahir,
maka akan diadakan selametan, biasanya sering juga disebut dengan brokohan.
Pada saat brokohan dilakukan, maka disediakan nasi tumpeng lengkap dengan sayur
dan lauk pauknya. Pada saat seorang bayi berusia 35 hari, maka diadakan acara
selametan selapanan, pada acara selapanan, rambut seorang bayi akan dipotong
habis. Tujuannya agar rambut bayi tersebut akan tumbuh lebat. Dalam acara
selapanan
Adat selanjunya yaitu tedak-siten.
Adat ini dilakukan ketika seorang bayi beusia 8 atau 9 bulan. Adat seperti ini
yaitu dimana seorang bayi untuk pertama kalinya menginjak kakinya ke atas
tanah. Dalam pelaksanaan tedak siten ini orang tua harus membantu dengan menuntun
sang anak untuk berjalan diatas cobekan yang didalamnya berisi sesaji makanan
sejenis dodol yang terbuat dari bahan beras ketan berwarna putih dan merah
serta beras kuning. Setelah itu sang anak diturunkan ke atas tanah dengan
dibimbing oleh orang tuanya. Kemudian ibu dan sang anak masuk di dalam kurungan
anak, didalam kurungan tersebut tersedia berbagai mainan yang bisa dipilih oleh
sang anak.
Ketika menjelang remaja, tiba waktunya seorang anak ditetaki
atau dikhitan.
Adat istiadat tersebut selalu dilakukan
oleh masyarakat suku jawa. Tradisi ini masih selalu dilakukan oleh suku jawa
setiap pertumbuhan sang bayi, sejak lahir yang selalu diadakan acara-acara yang
sudah menjadi tradisi suku jawa sampai seorang anak tersebut memasuki tetaki
atau khitan.
Pakaian Adat
Jawa Tengah dan Perlengkapannya
Adat jawa sangat melekat di
Indonesia,khususnya suku jawa. Pada acara tertetu suku jawa tak luput dari adat
mereka. Begitu juga dengan pakaian adatnya.Saat acara-acara tertentu adat
istiadat jawa harus memenuhi persyaratan adat yang akan di laksanakan.Berikut
melody akan membahas tentang pakaian adat jawa tengah yang di pakai pada saat
acar-acara tertentu.Baik sejarah asal-usul atau asal mula baju adat Jawa
Tengah, kelengkapan apa saja yang di pakai (kostum). Dan bagaimana kostum
pernikahan adat Jawa Tengah.
Pakaian Adat
Jawa Tengah
Jenis busana dan kelengkapannya
yang dipakai oleh kalangan wanita Jawa, khususnya di lingkungan budaya
Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah adalah baju kebaya, kemben dan kain tapih
pinjung dengan stagen. Baju kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan
maupun kalangan rakyat biasa baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara.
Pada busana upacara seperti yang dipakai oleh seorang garwo dalem misalnya,
baju kebaya menggunakan peniti renteng dipadukan dengan kain sinjang atau jarik
corak batik, bagian kepala rambutnya digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan
perhiasan yang dipakai seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas
biasanya tidak ketinggalan.
Untuk busana sehari-hari umumnya
wanita Jawa cukup memakai kemben yang dipadukan dengan stagen dan kain jarik.
Kemben dipakai untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben
ini cukup lebar dan panjang. Sedangkan stagen dililitkan pada bagian perut
untuk mengikat tapihan pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.
Dewasa ini, baju kebaya pada
umumnya hanya dipakai pada hari-hari tertentu saja, seperti pada upacara adat
misalnya. Baju kebaya di sini adalah berupa blus berlengan panjang yang dipakai
di luar kain panjang bercorak atau sarung yang menutupi bagian bawah dari badan
(dari mata kaki sampai pinggang). Panjangnya kebaya bervariasi, mulai dari yang
berukuran di sekitar pinggul atas sampai dengan ukuran yang di atas lutut. Oleh
karena itu, wanita Jawa mengenal dua macam kebaya, yaitu kebaya pendek yang
berukuran sampai pinggul dan kebaya panjang yang berukuran sampai ke lutut.
Kebaya pendek dapat dibuat dari
berbagai jenis bahan katun, baik yang polos dengan salah satu warna seperti
merah, putih, kuning, hijau, biru dan sebagainya maupun bahan katun yang
berbunga atau bersulam. Saat ini, kebaya pendek dapat dibuat dari bahan sutera,
kain sunduri (brocade), nilon, lurik atau bahan-bahan sintetis. Sedangkan,
kebaya panjang lebih banyak menggunakan bahan beludru, brokat, sutera yang
berbunga maupun nilon yang bersulam. Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju kebaya
mereka diberi tambahan bahan berbentuk persegi panjang di .bagian depan yang
berfungsi sebagai penyambung.
Baju kebaya dipakai dengan kain
sinjang jarik/ tapih dimana pada bagian depan sebelah kiri dibuat wiron
(lipatan) yang dililitkan dari kiri ke kanan. Untuk menutupi stagen digunakan
selendang pelangi dari tenun ikat celup yang berwarna cerah. Selendang yang
dipakai tersebut sebaiknya terbuat dari batik, kain lurik yang serasi atau kain
ikat celup. Selain kain lurik, dapat juga memakai kain gabardine yang bercorak
kotak-kotak halus dengan kombinasi warna sebagai berikut: hijau tua dengan
hitam, ungu dengan hitam, biru sedang dengan hitam, kuning tua dengan hitam dan
merah bata dengan hitam. Kelengkapan perhiasannya dapat dipakai yang sederhana
berupa subang kecil dengan kalung dan liontin yang serasi, cincin, gelang dan
sepasang tusuk konde pada sanggul.
Baju kebaya panjang biasanya
menggunakan bahan beludru, brokat, sutera maupun nilon yang bersulam. Dewasa
ini, baju kebaya panjang merupakan pakaian untuk upacara perkawinan. Dan
umumnya digunakan juga oleh mempelai wanita Sunda, Bali dan Madura. Panjang
baju kebaya ini sampai ke lutut, dapat pula memakai tambahan bahan di bagian
muka akan tetapi tidak berlengkung leher (krah). Pada umumnya kebaya panjang
terbuat dari kain beludru hitam atau merah tua, yang dihiasi pita emas di tepi
pinggiran baju. Kain jarik batik yang berlipat (wiron) tetap diperlukan untuk
pakaian ini, tetapi biasanya tanpa memakai selendang. Sanggulnya dihiasi dengan
untaian bunga melati dan tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang
dipakai juga sederhana, yaitu sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran
yang dipakai di sebelah depan pusat kepala. Baju kebaya panjang yang dipakai
sebagai busana upacara biasa, maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga
melati dan tusuk konde.
Mengenai teknik dan cara membuat
baju kebaya sangat sederhana. Potongan dan model kebaya Jawa, yang juga dipakai
di Sumatera Selatan, daerah pantai Kalimantan, Kepulauan Sumbawa, dan Timor
sebenarnya serupa dengan blus. Baju ini terdiri dari dua helai potongan, yaitu
sehelai bagian depan dan sehelai lagi potongan bagian belakang, serta dua buah
lengan baju. Modelnya dapat ditambah dengan sepotong bahan berbentuk persegi
panjang yang dipakai sebagai penyambung antara kedua potongan bagian muka.
Pada bagian badan kebaya dipotong
sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan krup. Ini dimaksudkan agar
benar-benar membentuk badan pada bagian pinggang dan payudara dan sedikit
melebar pada bagian pinggul. Sedangkan, lipatan bawah bagian belakang dan
samping harus sama lebarnya dan menuju ke bagian depan dengan agak meruncing.
Lengkung leher baju menjadi satu dengan bagian depan kebaya. Lengkung ini harus
cukup lebar sehingga dapat dilipat ke dalam untuk vuring kemudian dilipat lagi
keluar untuk membentuk lengkung leher. Semua potongan tersebut dapatdikerjakan
dengan mesin jahit ataupun dijahit dengan tangan.
Sedangkan busana di kalangan pria,
khususnya kerabat keraton adalah memakai memakai baju beskap kembang-kembang
atau motif bunga lainnya, pada kepala memakai destar (blankon), kain samping
jarik, stagen untuk mengikat kain samping, keris dan alas kaki (cemila). Busana
ini dinamakan Jawi Jangkep, yaitu busana pria Jawa secara lengkap dengan keris.
Meskipun seni busana berkembang
baik di lingkungan keraton, tidak berarti busana di lingkungan rakyat biasa
tidak ada yang khas. Busana adat tradisional rakyat biasa banyak digunakan oleh
petani di desa. Busana yang dipakai adalah celana kolor warna hitam, baju
lengan panjang, ikat pinggang besar, ikat kepala dan kalau sore pakai sarung.
Namun pada saat upacara perkawinan, bagi orang tua mempelai biasanya mereka
memakai kain jarik dan sabuk sindur. Bajunya beskap atau sikepan dan pada
bagian kepala memakai destar.
Busana
Basahan
Salah satu jenis busana adat yang
terindah dan terlengkap di Indonesia terdapat di keraton Surakarta, Jawa
Tengah. Sebab, tiap-tiap jenis busana tersebut menunjukkan tahapan-tahapan
tertentu dan siapa si pemakaiannya. Dalam adat busana perkawinan misalnya,
seorang wanita dan pria kalangan keraton mengenakan beberapa jenis busana, yang
disesuaikan dengan tahapan upacara, yaitu midodareni, ijab, panggih dan sesudah
upacara panggih. Pada upacara midodareni, pengantin wanita memakai busana
kejawen dengan warna sawitan. Busana sawitan terdiri dari kebaya lengan
panjang, stagen dan kain jarik dengan corak batik. Sedangkan pengantin prianya
memakai busana cara Jawi Jangkep, yang terdiri dari baju atela, udeng, sikepan,
sabuk timang, kain jarik, keris dan selop.
Saat upacara ijab, busana yang
dipakai pengantin wanita adalah baju kebaya dan kain jarik, sedangkan pengantin
pria memakai busana basahan. Busana basahan pengantin pria disini terdiri dari
kuluk matak petak, dodot bangun tulak, stagen, sabuk lengkap dengan timang dan
cinde, celana panjang warna putih, keris warangka ladrang dan selop.
Begitu pula pada upacara panggih
kedua mempelai memakai jenis busana yang sudah ditetapkan. Pengantin wanita
memakai busana adat bersama, basahan. Busana basahan adalah tidak memakai baju,
melainkan terdiri dari semekan atau kemben, dodot bangun tulak atau kampuh,
sampur atau selendang sekar cinde abrit dan kain jarik cinde sekar merah.
Semekan atau kemben terbuat dari kain batik dengan corak alas-alasan warna
dasar hijau atau biru dengan hiasan kuning emas atau putih. Kemben disini
berfungsi sebagai pengganti baju dan pelengkap untuk menutupi payudara. Kain
dodot yang menggunakan corak batik alas-alasan panjangnya kira-kira 4-5 meter,
dan merupakan baju pokok dalam busana basahan. Selendang cinde sekar abrit
terbuat dari kain warna dasar merah dengan corak bunga hitam dan kain jarik
cinde sekar abrit terbuat dari kain gloyar, warna dasar merah yang dihiasi
bunga berwarna hitam dan putih. Cara mengenakan kain ini seperti kain jarik
tetapi tidak ada lipatan (wiron). Sama halnya dengan pengantin wanita, pengatin
pria pun memakai busana adat basahan, berupa dodot bangun tulak, terdiri dari
kuluk matak biru muda, stagen, sabuk timang, epek, dodot bangun tulak, celana
cinde sekar abrit, keris warangka ladrang, kolong karis, selop dan perhiasan
kalung ulur.
Pada upacara panggih ini, biasanya
kedua mempelai pengantin melengkapi busana basahan dengan aneka perhiasan.
Perhiasan yang biasa digunakan oleh mempelai pria adalah kalung ulur,
timang/epek, cincin, bros dan buntal. Sedangkan bagi pengantin wanita,
perhiasan yang biasa dipakai adalah cunduk mentul, jungkat, centung, kalung,
gelang, cincin, bros, subang dan timang atau epek.
Berbeda dengan tahapan upacara
sebelumnya, pada upacara setelah panggih, pengantin wanita memakai busana
kanigaran, yaitu terdiri dari baju kebaya, kain jarik, stagen dan selop.
Sedangkan pengantin pria menggunakan busana kepangeranan, yang terdiri dari
kuluk kanigoro, stagen, baju takwo, sabuk timang, kain jarik, keris warangka
ladrang dan selop.
Sebagai kelengkapan, dalam busana
adat perkawinan, maka baik pengantin wanita maupun pria biasanya dirias pada
bagian wajah dan sanggul. Tujuannya adalah agar mempelai wanita kelihatan lebih
cantik dan angun dan pengantin pria lebih gagah dan tampan. Bagi pengantin
pria, cara meriasnya tidak sedemikian rumit dan teliti sebagaimana pengantin
wanita yang harus dirias pada bagian wajahnya mulai dari muka, mata, alis, pipi
dan bibir.
Busana Jawa baik pakaian
sehari-hari maupun pakaian upacara sangat kaya akan ragam hias yang tak jarang
memiliki makna simbolik dibaliknya. Jenis ragam hias yang dikenal di daerah
Surakarta maupun Jogyakarta adalah kain yang bermotifkan tematema geometris,
swastika (misalnya bintang dan matahari), hewan (misal : burung, ular, kerbau,
naga), tumbuh-tumbuhan (bunga teratai, melati) maupun alam dan manusia. Motif
geometris diantaranya adalah kain batik yang bercorak ikal, pilin, ikal rangkap
dan pilin ganda. Motif berupa garis-garis potong yang disebut motif tangga
merupakan simbolisasi dari nenek moyang naik tangga sedang menuju surga. Bahkan
motif yang paling dikenal oleh masyarakat Surakarta adalah motif tumpal
berbentuk segi tiga yang disebut untu walang, yang melambangkan kesuburan.
Pada busana-busana khusus untuk
upacara perkawinan dikenal juga motif pada batik tulis, seperti kain sindur dan
truntum yang dipakai oleh orang tua mempelai. Sedangkan kain sido mukti, kain
sido luhur dan sido mulyo merupakan pakaian mempelai.
Fungsi pakaian, awalnya digunakan
sebagai alat untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun panas. Kemudian
fungsi pakaian menjadi lebih beragam, misalnya untuk menutup aurat, sebagai
unsur pelengkap upacara yang menyandang nilai tertentu, maupun sebagai alat
pemenuhan kebutuhan akan keindahan.
Pada masyarakat di Jawa Tengah,
khususnya di Surakarta fungsi pakaian cukup beragam, seperti pada masyarakat
bangsawan pakaian mempunyai fungsi praktis, estetis, religius, sosial dan
simbolik. Seperti kain kebaya fungsi praktisnya adalah untuk menjaga kehangatan
dan kesehatan badan; fungsi estetis, yakni menghias tubuh agar kelihatan lebih
cantik dan menarik; fungsi sosial yakni belajar menjaga kehormatan diri seorang
wanita agar tidak mudah menyerahkan kewanitaannya dengan cara berpakaian
serapat dan serapi mungkin, serta memakai stagen sekuat mungkin agar tidak
mudah lepas.
Kematian
Mendhak
Tradisi Mendhak adalah salah satu
ritual dalam adat istiadat kematian budaya Jawa. Upacara tradisional Mendhak
dilaksanakan secara individu atau berkelompok untuk memperingati kematian
seseorang. Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk upacara tradisional
Mendhak adalah sebagai berikut: tumpeng, sega uduk, side dishes, kolak, ketan,
dan apem. Kadang-kadang, sebelum atau sesudah upacara Mendhak dilaksanakan,
sanak keluarga dapat mengunjungi makam saudara mereka.
Upacara tradisional ini
dilaksanakan tiga kali dalam seribu hari setelah hari kematian: pertama disebut
Mendhak Pisan, upacara untuk memperingati satu tahun kematian (365 hari); kedua
disebut Mendhak Pindho sebagai upacara peringatan dua tahun kematian; ketiga
disebut sebagai Mendhak Telu atau Pungkasan atau Nyewu Dina, yang dilaksanakan
pada hari ke seribu setelah kematian.
Menurut kepercayaan Jawa, setelah
satu tahun kematian, arwah dari saudara yang diperingati kematiannya tersebut
telah memasuki dunia abadi untuk selamanya. Menurut kepercayaan juga, untuk
memasuki dunia abadi tersebut, arwah harus melalui jalan yang sangat panjang;
oleh karena itu penting sekali diadakannya beberapa upacara untuk menemani
perjalanan sang arwah.
Kematian
surtanah
Tradisi kematian dalam adat Jawa
salah sataunya adalah Upacara Surtanah yang bertujuan agar arwah atau roh orang
mati mendapat tempat yang layak di sisi Sang Maujud Agung.
Perlengkapan upacara: – Golongan
bangsawan: tumpeng asahan lengkap dengan lauk, sayur adem (tidak pedas), pecel
dengan sayatan daging ayam goreng/panggang, sambal docang dengan kedelai yang
dikupas, jangan menir, krupuk, rempeyek, tumpeng ukur-ukuran, nasi gurih, nasi
golong, dan pisang raja. – Golongan rakyat biasa: tumpeng dengan lauknya, nasi
golong, ingkung dan panggang ayam, nasi asahan, tumpeng pungkur, tumpeng
langgeng, pisang sajen, kembang setaman, kinang, bako enak dan uang bedah bumi.
Upacara ini diadakan setelah mengubur jenazah yang dihadiri
oleh keluarga, tetangga dekat, dan pemuka agama.
Upacara
nyewu dina
Inti dari upacara ini memohon pengampunan kepada Tuhan.
Perlengkapan upacara: – Golongan bangsawan: takir pentang yang berisi lauk,
nasi asahan, ketan kolak, apem, bunga telon ditempatkan distoples dan diberi
air, memotong kambing, dara/merpati, bebek/itik, dan pelepasan burung merpati.
– Golongan rakyat biasa: nasi ambengan, nasi gurih, ketan kolak, apem, ingkung
ayam, nasi golong dan bunga yang dimasukan dalam lodong serta kemenyan.
Upacara tersebut diadakan setelah maghrib dan diikuti oleh
keluarga, ulama, tetangga dan relasi.
Upacara
Brobosan
Salah satu upacara tradisional dalam adat istiadat kematian
jawa adalah upacara Brobosan. Upacara Brobosan ini bertujuan untuk menunjukkan
penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua dan leluhur mereka yang telah
meninggal dunia. Upacara Brobosan diselenggarakan di halaman rumah orang yang
meninggal, sebelum dimakamkan, dan dipimpin oleh anggota keluarga yang paling
tua.
Tradisi Brobosan dilangsungkan secara berurutan sebagai
berikut: 1) peti mati dibawa keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung
tinggi ke atas setelah upacara doa kematian selesai, 2) anak laki-laki tertua,
anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan, berjalan berurutan melewati
peti mati yang berada di atas mereka (mrobos) selama tiga kali dan searah jarum
jam, 3) urutan selalu diawali dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti
berada di urutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti di
belakang.
UPACARA ADAT
KELAHIRAN SUKU JAWA
Upacara tradisional ini
menyimbolkan penghormatan sanak keluarga yang masih hidup kepada orang tua dan
leluhur mereka.
Salah satu tradisi kelahiran dalam budaya Jawa adalah
Selapanan. Upacara Selapanan bertujuan memohon keselamatan bagi si bayi.
Perlengkapan upacara yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
- Golongan bangsawan: Nasi tumpeng gudangan, nasi tumpeng
kecil yang ujungnya ditancapi tusukan bawang merah dan cabe merah, bubur lima
macam, jajan pasar, nasi golong, nasi gurih, sekul asrep-asrepan, pecel ayam,
pisang, kemenyan, dan kembang setaman diberi air.
- Golongan rakyat biasa: Tumpeng nasi gurih dengan lauk,
nasi tumpeng among-among, nasi golong, jenang abang putih, ingkung dan panggang
ayam.
Upacara terakhir dalam rangkaian selamatan kelahiran yang
dilakukan pada hari ke 36 sesuai dengan weton atau hari pasaran kelahiran si
bayi. Selapanan diadakan setelah maghrib dan dihadiri oleh si bayi, ayah,
dukun, ulama, famili dan keluarga terdekat.
UPACARA
PERNIKAHAN SUKU JAWA
Pesta pernikah adat Jawa mempunya
beraneka ragam tradisi. Pemaes, dukun pengantin perempuan di mana menjadi
pemimpin dari acara pernikahan, itu sangat penting. Dia mengurus dandanan dan
pakaian pengantin laki-laki dan pengantin perempuan yang bentuknya berbeda
selama pesta pernikahan. Biasanya dia juga menyewakan pakaian pengantin,
perhiasan dan perlengkapan lain untuk pesta pernikahan.
Banyak yang harus dipersiapkan
untuk setiap upacara pesta pernikahan. Panitia kecil terdiri dari teman dekat,
keluarga dari kedua mempelai. Besarnya panitia itu tergantung dari latar
belakang dan berapa banyaknya tamu yang di undang (300, 500, 1000 atau lebih).
Sesungguhnya upacara pernikahan itu merupakan pertunjukan besar.
Panitia mengurus seluruh persiapan
perkawinan: protokol, makanan dan minuman, musik gamelan dan tarian, dekorasi
dari ruangan resepsi, pembawa acara, wali untuk Ijab, pidato pembuka,
transportasi, komunikasi dan keamanan. Persiapan yang paling penting adalah
Ijab (catatan agama dan catatan sipil), dimana tercatat sebagai pasangan suami
istri.
Biasanya sehari sebelum pesta
pernikahan, pintu gerbang dari rumah orangtua wanita dihias dengan Tarub
(dekorasi tumbuhan), terdiri dari berbeda Tuwuhan (tanaman dan daun).
Dua pohon pisang dengan setandan pisang masak berarti: Suami
akan menjadi pemimpin yang baik di keluarga. Pohon pisang sangat mudah tumbuh
dimana saja. Pasangan pengantin akan hidup baik dan bahagia dimana saja.
Sepasang Tebu Wulung berarti: Seluruh keluarga datang
bersama untuk bantuan nikah.
Cengkir Gading berarti: Pasangan pengantin cinta satu sama
lain dan akan merawat keluarga mereka.
Bentuk daun seperti beringin, mojo-koro, alang-alang, dadap
srep berarti: Pasangan pengantin akan hidup aman dan melindungi keluarga.
bekletepe di atas pintu gerbang berarti menjauhkan dari
gangguan roh jahat dan menunjukan di rumah mana pesta itu diadakan.
Kembar Mayang adalah karangan dari bermacam daun (sebagian
besar daun kelapa di dalam batang pohon pisang). Itu dekorasi sanggat indah dan
menpunya arti yang luas.
Itu menpunyai bentuk seperti gunung: Gunung itu tinggi dan
besar, berarti laki-laki harus punya banyak pengetahuan, pengalaman dan
kesabaran.
Keris: Melukiskan bahwa pasangan pengantin berhati-hati
dalam kehidupan, pintar dan bijaksana.
Cemeti: Pasangan pengantin akan selalu hidup optimis dengan
hasrat untuk kehidupan yang baik.
Payung: Pasangan pengantin harus melindungi keluarganya.
Belalang: Pasangan pengantin akan giat, cepat berpikir dalam
mengambil keputusan untuk keluarganya.
Burung: Pasangan pengantin mempunyai motivasi hidup yang tinggi.
Daun Beringin: Pasangan pengantin akan selalu melindungi
keluarganya dan masyarakat sekitarnya.
Daun Kruton: Daun yang melindungi mereka dari gangguan
setan.
Daun Dadap srep: Daun yang dapat digunakan mengompres untuk
menurunkan demam, berarti pasangan pengantin akan selalu mempunyai pikiran yang
jernih dan tenang dalam mengadapi masalah.
Daun Dlingo Benglé: Jamu untuk infeksi dan penyakit lainnya,
itu digunakan untuk melindungi gangguan setan.
Bunga Patra Manggala: Itu digunakan untuk memperindah karangan.
Sebelum memasang Tarub dan Bekletepe harus membuat sepesial
Sajen.
Tradisionil Sajen (persembahan)
dalam pesta adat Jawa itu sangat penting. Itu adalah simbol yang sangat
berarti, di mana Tuhan Pencipta melidungi kami. Sajen berarti untuk mendoakan leluhur
dan untuk melindungi dari gangguan roh jahat. Sajen diletakan di semua tempat
di mana pesta itu diadakan, diantaranya di kamar mandi, di dapur, di bawah
pintu gerbang, di bawah dekorasi Tarub, di jalan dekat rumah, dan lain-lain.
Siraman sajen terdiri dari:
1.
Tumpeng Robyong, nasi kuning dengan hiasan.
2.
Tumpeng Gundul, nasi kuning tanpa hiasan.
3.
Makanan: ayam, daging, tahu, telur.
4.
Tujuh macam bubur.
5.
Pisang raja dan buah lainnya.
6.
Kelapa muda.
7.
Kue manis, lemper, cendol.
8.
Teh dan kopi pahit.
9.
Rokok dan kretek.
10.
Lantera.
11.
Bunga Telon (kenanga, melati, magnolia) dengan
air Suci.
Siraman: Makna dari pesta Siraman
adalah untuk membersihkan jiwa dan raga. Pesta Siraman ini biasanya diadakan di
siang hari, sehari sebelum Ijab dan Panggih. Siraman di adakan di rumah
orangtua pengantin masing-masing. Siraman biasanya dilakukan di kamar mandi
atau di taman. Sekarang lebih banyak diadakan di taman. Daftar nama dari orang
yang melakukan Siraman itu sangat penting. Tidak hanya orangtua, tetapi juga
keluarga dekat dan orang yang dituakan. Mereka menyeleksi orang yang bermoral
baik. Jumlah orang yang melakukan Siraman itu biasanya tujuh orang. Bahasa Jawa
tujuh itu PITU, mereka memberi nama PITULUNGAN (berarti menolong).
Apa saja yang harus dipersiapkan:
·
Baskom untuk air, biasanya terbuat dari tembaga
atau perunggu. Air dari sumur atau mata air.
·
Bunga Setaman – mawar, melati, magnolia dan
kenanga – di campur dengan air.
·
Aroma – lima warna – berfungsi seperti sabun.
·
Tradisionil shampoo dan conditioner (abu dari merang,
santan, air asam Jawa).
·
gayung dari 2 kelapa, letakkan bersama.
·
Kursi kecil, ditutup dengan:
·
Tikar – kain putih – beberapa macam daun –
dlingo benglé (tanaman untuk obat-obatan) – bango tulak (kain dengan 4 macam
motif) – lurik (motif garis dengan potongan Yuyu Sekandang dan Pula Watu).
·
Memakai kain putih selama Siraman.
·
Kain batik dari Grompol dan potongan Nagasari.
·
Handuk.
·
Kendi.
Keluarga dari pengantin wanita mengirim utusan untuk membawa
air-bunga ke keluarga dari pengantin laki-laki. Itu Banyu Suci Perwitosari,
berarti air suci dan simbol dari intisari kehidupan. Air ini diletakan di rumah
pengantin laki-laki.
Pelaksanaan
dari SIRAMAN:
Pengantin perempuan/laki-laki
datang dari kamarnya dan bergabung dengan orangtuanya. Dia diantar ke tempat
Siraman. Beberapa orang jalan di belakangnya dan membawa baki dengan kain
batik, handuk, dan lain-lain. Dan ini akan digunakan setelah Siraman. Dia
mendudukkan di kursi dan berdoa. Orang pertama yang menyiramkan air ke
pengantin adalah ayah. Ibu boleh menyiramkan setalah ayah. Setelah mereka,
orang lain boleh melakukan Siraman. Orang terakhir yang melakukan Siraman
adalah Pemaes atau orang sepesial yang telah ditunjuk. Pengantin
perempuan/laki-laki duduk dengan kedua tangan di atas dada dengan posisi
berdoa. Mereka menyiramkan air ke tangannya dan membersihkan mulutnya tiga
kali. Kemudian mereka menyiramkan air ke atas kepala, wajah, telinga, leher,
tangan dan kaki juga sebanyak tiga kali. Pemaes menggunakan tradisionil shampoo
dan conditioner. Setelah Kendi itu kosong, Pemaes atau orang yang ditunjuk
memecahkan kendi ke lantai dan berkata: ‘Wis Pecah Pamore‘ – berarti dia itu
tampan (menjadi cantik dan siap untuk menikah).
Upacara
NGERIK:
Setelah Siraman, pengantin duduk di kamar pengantin. Pemaes
mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menberi pewangi (ratus) di seluruh
rambutnya. Dia mengikat rambut ke belakang dan mengeraskannya (gelung). Setelah
itu Pemaes membersihkan wajahnya dan lehernya, dia siap untuk di dandani.
Pemaes sangat behati-hati dalam merias pengantin. Dandanan itu tergantun dari
bentuk perkawinan. Akhirnya, pengantin wanita memakai kebaya dan kain batik
dengan motif Sidomukti atau Sidoasih. Itu adalah simbol dari kemakmuran hidup.
Upacara Midodareni: Pelaksanaan pesta ini mengambil tempat
sama dengan Ijab dan Panggih. Midodareni itu berasal dari kata Widodari yang
berarti Dewi. Pada malam hari, calon pengantin wanita akan menjadi cantik sama
seperti Dewi. Menurut kepercayaan kuno, Dewi akan datang dari kayangan.
Pengantin wanita harus tinggal di kamar dari jam enam sore
sampai tengah malam di temani dengan beberapa wanita yang dituakan. Biasanya
mereka akan memberi saran dan nasihat. Keluarga dan teman dekat dari pengantin
wanita akan datang berkunjung; semuanya harus wanita.
Orangtua dari pengantin wanita akan menyuapkan makanan untuk
yang terakhir kalinya. Mulai dari besok, suaminya yang akan bertanggung jawab.
Apa saja yang harus diletakan di kamar pengantin?
·
Satu set Kembar Mayang.
·
Dua kendi (diisi dengan bumbu, jamu, beras,
kacang, dan lain-lain) di lapisi dengan kain Bango Tulak.
·
Dua kendi (diisi dengan air suci) di lapisi
dengan daun dadap srep.
·
Ukub (baki dengan bermacam pewangi dari daun dan
bunga) diletakan di bawah tempat tidur.
·
Suruh Ayu (daun betel).
·
Kacang Areca.
·
Tujuh macam kain
Di Indonesia, terutama di pedesaan
Jawa berlaku begitu banyak mitos (larangan) seputar kehamilan yang beredar di
masyarakat. Semua hal yang berkaitan dengan keseharian si ibu ataupun si bayi
dari segi makanan, keseharian, dan perilaku. Tradisi ini sangat kuat diterapkan
oleh masyarakat. Beberapa mitos bahkan dipercaya sebagai amanat atau pesan dari
nenek moyang yang jika tidak ditaati akan menimbulkan dampak atau karma yang
tidak diinginkan.
Pada dasarnya mitos bila dinalar
dengan akal sehat, diteliti dari segi medis, maupun dari segi aqidah banyak
yang tidak berhubungan. Walaupun maksud dari nenek moyang adalah baik tetapi
tidak semua dari nasehat atau pantangan kehamilan yang diberitahukan itu benar
secara medis maupun ilmiah. Kebanyakan hanya berdasarkan mitos atau kepercayaan
saja dari pada kenyataannya. Pada dasarnya tujuan dari orang-orang terdahulu
menciptakan mitos bermacam-macam tentang kehamilan hanyalah supaya si ibu hamil
maupun suaminya dapat menjaga kehamilan dengan baik. Tujuannya untuk menyiapkan
kehamilan yang sehat, sehingga bisa terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan. Terutama yang berkaitan dengan kebiasaan, konsumsi bahan makanan,
dan sebagainya.
Berikut adalah beberapa mitos adat istiadat Jawa yang
berhubungan dengan kehamilan, yang dikelompokkan berdasarkan tradisi
pra-kehamilan, tradisi masa kehamilan dan tradisi pasca kehamilan:
Tradisi pra-kehamilan (sebelum hamil)
1. Agar segera hamil, sepasang suami istri
disarankan untuk mengambil pancingan, yaitu mengambil bayi atau balita untuk
diadopsi dan diasuh selayaknya anaknya sendiri.
Penjelasan:
Sebenarnya ini hanya sebatas sugesti saja agar wanita yang
belum hamil tidak merasa terlalu cemas dan masih memiliki harapan untuk
memiliki anak. Secara psikologis, saat menunggu kehamilan adalah saat dimana
komunikasi suami istri sangat intensif, konsentrasi ikhtiar sangat difokuskan
dan doa dikhusyukkan. Kehadiran anak pancingan justru dapat memecah konsentrasi
tersebut dan membatasi kebebasan hubungan antara suami istri.
2. Mintalah bedak (talek) sisa yang telah
dipakai oleh bayi dan dioleskan ke perut wanita yang belum diberi keturunan, mitosnya supaya cepat
mendapat keturunan.
Penjelasan:
Secara medis-biologis, tidak ada faktor lain yang menjadikan
janin tersebut kecuali bertemunya sel telur sang ibu dan sel sperma sang ayah.
Jadi tidak ada hubungannya antara bedak yang dioleskan ke perut ibu bisa
menentukan cepat dan tidaknya mendapat keturunan.
Tradisi masa kehamilan
1. Ibu hamil dan suaminya dilarang membunuh
binatang. Sebab dipercaya bisa menimbulkan cacat pada janin sesuai dengan
perbuatannya itu.
Penjelasan:
Tentu saja tidak demikian. Cacat janin disebabkan oleh
kekurangan gizi pada bayi maupun ibu, penyakit keturunan dan pengaruh radiasi.
Sedangkan gugurnya janin paling banyak disebabkan karena penyakit, gerakan
berlebihan yang dilakukan oleh ibu (misal benturan) dan karena faktor
psikologis (misalnya shock, stress, pingsan). Tapi yang perlu diingat membunuh
atau menganiaya binatang adalah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan.
2. Membawa gunting kecil atau pisau atau
benda tajam lainnya di kantung baju si ibu agar janin terhindar dari bahaya.
Penjelasan:
Hal ini justru lebih membahayakan apabila benda tajam itu
melukai si ibu.
3. Ibu hamil tidak boleh keluar malam,
karena banyak roh jahat yang akan mengganggu janin.
Penjelasan:
Secara psikologis, ibu hamil mengalami sensitifitas mental
yang labil, sehingga terkadang mudah takut oleh karena itu pada malam hari ibu
hamil tidak dianjurkan bepergian. Secara medis-biologis, ibu hamil tidak
dianjurkan keluar malam terlalu lama, apalagi sampai larut malam. Kondisi ibu
dan janin bisa terancam karena udara malam kurang baik untuk kesehatan karena
banyak pengendapan karbon dioksida (CO2).
4. Ibu hamil dilarang melilitkan handuk di
leher agar anak yang dikandungnya tak terlilit tali pusar.
Penjelasan:
Ini jelas tidak berhubungan karena tidak ada kaitannya
antara handuk di leher dengan bayi yang ada di kandungan. Secara medis,
hiperaktifitas gerakan bayi diduga dapat menyebabkan lilitan tali pusar pada
bayi.
5. Ibu hamil tidak boleh membenci terhadap
seseorang secara berlebihan, karena nanti anaknya jadi mirip seperti orang yang
dibenci tersebut.
Penjelasan:
Jelas ini bertujuan supaya si ibu yang sedang hamil dapat
menjaga batinnya agar tidak membenci seseorang berlebihan.
6. Ibu hamil tidak boleh makan pisang yang
dempet, nanti anaknya jadi kembar siam.
Penjelasan:
Secara medis-biologis, lahirnya anak kembar siam tidak
dipengaruhi oleh makan pisang dempet yang dimakan oleh ibu hamil. Kembar siam
disebabkan karena adanya pembelahan dua sel janin yang tidak sempurna.
7. “Amit-amit” adalah ungkapan yang harus
diucapkan sebagai “dzikirnya” orang hamil ketika melihat peristiwa yang
menjijikkan, mengerikan, mengecewakan dan sebagainya dengan harapan janin
terhindar dari kejadian tersebut.
Penjelasan:
Secara psikologis, perilaku tersebut justru dapat berujung
pada ketakutan yang tidak bermanfaat.
8. Ngidam adalah perilaku khas perempuan
hamil yang menginginkan sesuatu. Jika tidak dituruti maka anaknya akan mudah
mengeluarkan air liur.
Penjelasan:
Hal itu tidak ada hubungannya dengan kondisi anak yang
apabila sudah lahir kelak akan mudah mengeluarkan air liur. Mitos tersebut
lebih hanya untuk memberikan perhatian pada si ibu supaya apa yang diinginkan
bisa dituruti, karena ibu hamil harus mendapatkan perhatian yang lebih dari
suami dan keluarga.
9. Dilarang makan nanas karena nanas
dipercaya dapat menyebabkan janin dalam kandungan gugur.
Penjelasan:
Secara medis-biologis, getah nanas mudah mengandung senyawa
yang dapat melunakkan daging. Tetapi buah nanas yang sudah tua atau disimpan
lama akan semakin berkurang kadar getahnya, demikian juga dengan nanas olahan.
Yang pasti nanas mengandung vitamin C dengan kadar tinggi sehingga baik untuk
kesehatan.
10. Janngan makan ikan mentah agar bayinya tidak
bau amis.
Penjelasan:
Bayi yang baru saja dilahirkan dan belum dibersihkan memang
sedikit berbau amis darah. Tetapi ini bukan lantaran ikan yang dikonsumsi ibu
hamil, melainkan karena aroma (bau) cairan ketuban. Perlu diketahui, tentu saja
makan ikan yang sudah matang lebih terjamin kebersihannya daripada makan ikan
mentah.
11. Jangan minum air es agar bayinya tidak besar.
Minum es atau minuman dingin diyakini menyebabkan janin membesar atau membeku
sehingga dikhawatirkan bayi sulit keluar.
Penjelasan:
Sebenarnya yang menyebabkan bayi besar adalah makanan yang
bergizi baik dan faktor keturunan. Minum es tidak dilarang, asal tidak
berlebihan, karena jika terlalu banyak, ulu hati akan terasa sesak dan ini
tentu membuat ibu hamil merasa tidak nyaman. Lagipula segala sesuatu yang
berlebihan akan selalu berdampak tidak baik.
Tradisi pasca kehamilan atau perlakuan terhadap anak yang
baru lahir
1. Dipakaikan gurita (gedhong) agar tidak
kembung.
Penjelasan:
Mitos ini tidak benar, karena organ dalam tubuh malah akan
kekurangan ruangan. Jika bayi menggunakan gurita, maka ruangan untuk
pertumbuhan organ-organ seperti rongga dada dan perut serta organ lain akan
terhambat. Kalau mau tetap menggunakan gurita boleh saja, asalkan jangan
terlalu ketat. Ikatan bagian atas dilonggarkan sehingga jantung dan paru-paru
bisa berkembang.
2. Tidak boleh memotong kuku bayi sebelum
usia 40 hari.
Penjelasan:
Tentu ini tidak tepat, karena kalau tidak dipotong kuku yang
panjang bisa berisiko melukai wajah bayi. Larangan ini mungkin lebih disebabkan
kekhawatiran akan melukai kulit jari tangan atau kaki si bayi saat ibu memotong
kuku-kukunya.
3. Pusar ditindih koin agar tidak bodong.
Penjelasan;
Secara ilmiah memang benar, karena jendela rongga perut ke
pusar belum menutup sempurna, jadi menonjol (bodong). Sedangkan koin hanyalah
sebagai alat untuk menekan, kalaupun menggunakan selain koin boleh juga asalkan
alat tersebut tidak melukai si bayi.
4. Hidung ditarik agar mancung.
Penjelasan:
Ini jelas tidak ada hubungannya, menarik hidung menentukan
mancung dan tidaknya hidung si bayi. Mancung dan tidaknya hidung si bayi
ditentukan oleh bentuk tulang hidung dan faktor keturunan.
5. Dengan mengoleskan air embun di lutut
bayi setiap pagi maka akan cepat bisa berjalan.
Penjelasan:
Secara medis-biologis, bayi bisa berjalan bila tulang dan
otot-otot betis dan pahanya telah tumbuh kuat. Kekuatan ini ditentukan oleh
faktor genetika dan nutrisi. Faktor nutrisi yang terpenting adalah kalsium,
energi dan protein. Air embun jelas tidak mengandung unsur tersebut.
Sumber:
http://harda46.blogspot.co.id/2015/11/adat-istiadat-jawa-tengah.html
( 29 April 2016 pukul 21:57)
http://hukum.unigo.ac.id/berita-29/hukum-adat-di-indonesia.html
(29 April 2016 pukul 21:57)
Analisis:
Menurut saya adat istiadat penting
sekali karna melalui adat istiadat kita dapat mempelajari budaya dan moral yang
dulu nenek moyang kita ajarkan. Mempelajari adat istiadat juga dapat
mengajarkan kita untuk saling menghormati suku dan budaya di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar